3 Agustus 2013 pukul 5:19 (Post Form FB)
Tulisan ini saya ketengahkan untuk
mengkaji keabsahan anjuran untuk berpoligami menurut Islam, benarkah Islam
menandaskan kaum laki-laki untuk berpoligami?. Tentu dengan sangat sederhana,
sebab celakanya, saya bukan ahli agama.
Benarkah
Poligami Dianjurkan?
3 Agustus 2013 pukul 5:19
Tulisan ini saya ketengahkan untuk
mengkaji keabsahan anjuran untuk berpoligami menurut Islam, benarkah Islam
menandaskan kaum laki-laki untuk berpoligami?. Tentu dengan sangat sederhana,
sebab celakanya, saya bukan ahli agama.
***
Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 3
sering dijadikan dalih pembenaran bahwa poligami sangat dianjurkan, bahkan
dikatakan sunnah nabi. Dalil ini dipelintir menjadi ’hak penuh’ bagi kaum
laki-laki untuk berpoligami. Padahal, dalam satu-satunya ayat yang berbicara
tentang poligami itu bukanlah dalam konteks memotivasi untuk berpoligami
melainkan penggalan ayat dari perintah Allah untuk memberikan perlindungan
terhadap perempuan yatim. Teks lengkapnya, "Dan jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil maka nikahilah
seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu
lebih dekat agar kamu tidak berbuat dzalim." (Qs. An-Nisa' :
3).
Ayat tersebut sama sekali tidak
berbicara tentang wajibnya berpoligami, sebab anjuran, ”Maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi dua tiga atau empat,” seperti halnya
dengan ucapan seseorang ibu yang melarang anaknya memakan coklat karena dapat
merusak gigi, sehingga dianjurkan untuk makan permen saja, dua, tiga atau empat
tetapi kemudian dikuatkan, karena makan permen berlebihan juga berbahaya, maka
cukup makan satu saja, itu lebih baik.
Konteks ayat ini sebagaimana
dikatakan oleh istri Nabi, Aisyah menyangkut sikap sementara orang yang ingin
mengawini anak-anak yatim yang kaya dan berada dalam pemeliharaannya, tetapi
tidak ingin memberinya mas kawin yang sesuai serta memperlakukannya secara
tidak adil. Karenanya, pembahasan tentang poligami dalam syariat Al-Qur’an,
hendaknya ditinjau dari segi kondisi yang memungkinkan itu terjadi.
Adalah wajar jika suatu perundangan
(seperti Al-Qur’an yang berlaku untuk setiap waktu dan kondisi) untuk
mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada suatu ketika.
Misalnya, kemungkinan mandulnya seorang istri, atau terjangkiti penyakit parah.
Apa yang diusulkan kepada seorang suami untuk keluar dari problem tersebut?
Bagaimana ia akan menyalurkan kebutuhan biologisnya atau keinginannya memiliki
anak? Poligami ketika itu adalah jalan terbaik, dengan tetap memberi
perlindungan terhadap sang istri tanpa harus menceraikan. Jadi sekali lagi
Al-Qur'an tidaklah menganjurkan poligami melainkan hanya membuka wadah bagi
yang menginginkannya tetapi dengan syarat keadilan yang harus mampu untuk
dipenuhi.
Poligami dan Prinsip Penegakan
Keadilan
Alasan menikah lagi karena lebih
baik dibanding selingkuh terlalu dibua-buat, apalagi kalau sang istri masih
menjalankan perannya dengan baik. Apa alasan anda memiliki perempuan idaman
lain sementara anda telah mengikat istri anda dengan sumpah dan perjanjian yang
teguh? Janji yang terpatri dalam ritual pernikahan adalah sumpah kedua terberat
setelah sumpah internal jiwa manusia di dalam Al-Qur’an (Qs. Al-A'raf:172).
Kalau berkelit, Rasulullah juga melakukannya. Apakah motif Rasul berpoligami
karena khawatir terjebak pada free sex?
Naudzubillah.
Kalau memang jujur ingin meneladani
Rasulullah Saw, menjatuhkan pilihan untuk berpoligami motivasinya harus juga
sama dengan Rasulullah yakni penegakan keadilan. Poligami bukanlah sesuatu
yang prinsipil dalam Islam sehingga harus dianjurkan kemana-mana sampai harus
diseminarkan atau diperlombakan. Bukan pula simbol kesalehan, bahwa seorang
muslim semakin banyak istri semakin saleh dan semakin taat ia dalam beragama.
Bukan pula simbol kesalehan seorang istri, bahwa yang siap dimadu itu lebih baik
agamanya dibanding yang menolak untuk poligami. Menolak untuk dipoligami
tidaklah berarti menentang agama, apalagi anti syariat, jika memang alasan
penolakannya itu karena memang mampu menunjukkan kemampuannya untuk menjadi
istri yang sesuai aturan agama.
Buktinya, dalam kehidupan rumah
tangganya sendiri, Rasulullah lebih lama menghabiskannya dengan monogami
dibanding poligami. Bayangkan, Rasul hidup dengan seorang istri di tengah
masyarakat yang menganggap poligami adalah kemestian. Rumah tangga Nabi Saw
bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid ra, berlangsung selama 25
tahun. Baru kemudian, sepeninggal Khadijah Nabi berpoligami itupun dengan motif
yang lebih cenderung bersifat politis. Dan itu pun dijalani hanya sekitar 13
tahun dari sisa hidupnya, dari kalkulasi ini sesungguhnya tidak beralasan bahwa
poligami itu anjuran Islam.
Praktik poligami telah dijalankan
sebelum kedatangan Islam dan dalam jumlah yang tidak dibatasi. Turunnya surah
An-Nisa ayat 3, adalah penetapan pembatasan jumlah istri. Praktik poligami
Rasulullah Saw, dalam rangka memberi tauladan kepada sahabat-sahabatnya
bagaimana bersikap adil terhadap istri-istri mereka, sebab mereka terlanjur
melakukannya. Diantara hadist-hadits tentang poligami tidak satupun hadits
Rasulullah yang secara eksplisit menganjurkannya.
Pada banyak kesempatan, Nabi justru
lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Maaf kalau saya menyebut
alasan berpoligami karena ingin menjalankan sunnah nabi sebagai akal-akalan
saja, orang Makassar menyebutnya kalasi. Dalam sejarah perjalanan
pemerintahan Islam tidak ada satupun khalifah yang menganjurkan poligami
sebagai solusi mengatasi kekisruhan sosial, yang ada adalah upaya
Khalifah Umar bin Khattab untuk membatasi mahar, tetapi kemudian dibatalkan
sebab tidak ada ketentuan dari Rasulullah mengenai pembatasan besarnya mahar.
Saya pribadi melihat, salah satu
penyebab liarnya interaksi antara laki-laki dan perempuan terutama pada kaum
muda, karena pintu gerbang pernikahan yang sulit mereka buka. Kendala yang
paling dominan adalah biaya pesta pernikahan yang membutuhkan biaya
berjuta-juta hanya karena alasan melestarikan tradisi. Kalaupun itu tidak bisa
diubah, apa salahnya bagi laki-laki beristri yang berkemampuan dari segi
materil membantu saudaranya yang belum menikah hanya karena tak punya biaya?.
Saya rasa itu lebih adil dan lebih peka sosial di banding beristri dua, tiga
atau bahkan sampai empat di tengah-tengah masyarakat yang masih banyak
membujang.
Saya tersentuh dengan tawaran salah
seorang sahabat dari kaum Anshar yang menawarkan kepada Abdurrahman bin ’Auf
(Muhajirin) untuk memilih salah seorang istrinya untuk ia ceraikan kemudian
menikahkannya. Semangat kebersamaan seperti inilah yang mestinya ditumbuhkan.
Bukankah Allah SWT memerintahkan, "Nikahkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, ... jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan karunianya. (QS. An Nuur (24) : 32). Mengapa selama ini kita
hanya begitu tergiur dengan perintah Allah, "Nikahilah perempuan yang kamu
senangi dua, tiga atau empat!" sementara perintah Allah untuk menikahkan
yang masih sendirian kita abaikan?. Itu namanya milah-milah.
Lebih tegasnya: Menikahlah! Jika
sudah, nikahkan yang belum. Jangan kau lagi!!
Itu yang baru namanya keadilan.
Wallhu 'alam bishshawwab